Selasa, 04 Juni 2013

DEMOKRASI DALAM ISLAM


Pendahuluan Ham dan Demokrasi islam
HAM, dan Demokrasi Dalam islam berisi tentang penjelasan konsep-konsep hukum islam, HAM menurut islam dan demokrasi dalam Islam meliputi prinsip bermusyawarah dan prinsip dalam ijma’.
HAM dan Demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.

Demokrasi tidak hanya batil secara konsep, namun juga hanya menawarkan ilusi. Rakyat --yang dijadikan sebagai pemegang kedaulatan itu-- hanya dilibatkan saat pemilu tiba. Pada musim kampanye, partai-partai peserta pemilu merayu rakyat dan mengobral janji-janji manis agar rakyat memberikan suara kepadanya. Setelah mereka memperoleh suara dan berhak mewakili rakyat, mereka berhak menggunakan untuk apa saja yang dipandang sejalan dengan kepentingannya. Anehnya, mereka senantiasa mengatasnamakan rakyat. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah berkonsultasi kepada rakyat pemilihnya. Bahkan, tidak sedikit pula rakyat pemilihnya itu tidak menyetujui manuver-manuver yang dilakukan partai-partai yang dulu dipilihnya.

Sewaktu berkampanye, di antara partai-partai Islam itu ada yang berjanji  akan memperjuangkan diterapkannya syariat Islam. Di panggung-panggung kampanye, mereka mengecam ide sekular dan tokoh-tokonya. Dan karena materi kampanye itu, tidak sedikit umat Islam bersimpati kepadanya lalu mencoblosnya. Namun, tatkala pemilihan presiden, partai-partai Islam itu justru mencalonkan Gus Dur. Tokoh demokrasi yang sering menyebut partai-partai Islam dengan sebutan sektarian. Kini, partai-partai Islam itu ramai-ramai mendukung Megawati. Tokoh nasionalis yang menjadi ketua umum sebuah partai politik yang amat menentang penerapan syariat Islam (kasus terakhir menentang rencana pemberlakuan syariat Islam di Aceh). Partai-partai tersebut masih saja mengklaim bahwa mereka mewakili sekian juta dari pemilihnya. Pada hal, setelah menyaksikan perilaku elit-elitnya yang tidak konsisten dengan Islam, mereka kecewa dan tak lagi mendukungnya. Hal yang sama bisa terjadi pada partai-partai lainnya. Jika demikian, di manakah peran rakyat? Rakyat hanya diperlukan saat pengambilan suara. Selebihnya, terserah partai-partai politik itu.
Saat ini, memang demokrasi telah mendapat pasaran yang paling tinggi sebagai jalan keluar atas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia.
1 Pengertian Demokrasi
Isitilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di  athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18 , bersama perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Kata demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat langsung seperti yang di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Di dunia barat, seperti yang diajukan oleh Abraham Lincoln, demokrasi diartikan sebagai “Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (terjemahan dari Government by the people, from the people and for the people).”Demokrasi di dunia Barat, seperti di Eropa Barat, Inggris dan negara-negara persemakmuran, Amerika Serikat dan negara-negara di wilayah Skandinavia, dilaksanakan dalam kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di mana badan pembuat undang-undang dilaksanakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, seperti yang terjadi di Inggris dan Belanda, atau presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Prancis

.2 Demokrasi dan Islam
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian. John O. Voll dan John L. Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi muslim kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang otentik.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.

  • Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim. 
  • Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam 
  • Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin (representatif umat Islam) sekaligus.
Pada karakter fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus menyambut sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `’demokrasi merupakan aplikasi terbaik dari Syura”.
3 Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
Dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya, Kebebasan berbicara setiap warga negara, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi.
Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Sehingga menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi; kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit; serta  dilandasi penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya,

pertama, dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Ketiga penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.

Keempat juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram.
Islamisasi demokrasi sebagai berikut :pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Kedua, wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. Ketiga mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah. Keempat komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Kedaulatan Allah terhadap makhluknya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Allah tetap Mahakuasa vis-à-vis makhluknya meski ada ‘kedaulatan rakyat’ yang diwujudkan melalui sistem politik demokrasi. Karena itu, kedua bentuk kedaulatan–yang sebenarnya tidak sebanding–tak perlu dipertentangkan.
Atas dasar kerangka itulah, para pemimpin umat Muslim umumnya dapat menerima demokrasi, khususnya di Indonesia, sejak negara ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Memang, dalam perjalanannya, terdapat pemikiran dan gerakan–termasuk bersenjata–yang ingin mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila dengan teokrasi Islam, tetapi mengalami kegagalan.
Dalam perjalanannya pula, demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang ini pada praktiknya tidak selalu dapat menjadi sistem politik yang efektif. Karena itu, seperti dikemukakan seorang peserta perempuan dalam Sidang Dewan Tafkir Persis, demokrasi kita belum bisa mengharapkan hasil konkret demokrasi, misalnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, sering terlihat demokrasi berubah menjadi democrazy.
Dalam konteks itu, ormas-ormas–khususnya yang berbasiskan keagamaan–dapat memainkan peran penting dalam mengawal penerapan demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi kepada para anggotanya tentang perlu kepatuhan pada hukum dan keadaban publik dalam demokrasi.
Demokrasi tidak bisa berjalan baik tanpa penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan hukum–hal itu tentu saja juga sangat diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan, ormas-ormas Islam dengan pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian memperkuat perannya dalam bidang-bidang ini.
 Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam meliputi
pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
Kedaulatan Allah terhadap makhluknya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Allah tetap Mahakuasa vis-à-vis makhluknya meski ada ‘kedaulatan rakyat’ yang diwujudkan melalui sistem politik demokrasi. Karena itu, kedua bentuk kedaulatan–yang sebenarnya tidak sebanding–tak perlu dipertentangkan.
Atas dasar kerangka itulah, para pemimpin umat Muslim umumnya dapat menerima demokrasi, khususnya di Indonesia, sejak negara ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Memang, dalam perjalanannya, terdapat pemikiran dan gerakan–termasuk bersenjata–yang ingin mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila dengan teokrasi Islam, tetapi mengalami kegagalan.
 Dalam perjalanannya pula, demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang ini pada praktiknya tidak selalu dapat menjadi sistem politik yang efektif. Karena itu, seperti dikemukakan seorang peserta perempuan dalam Sidang Dewan Tafkir Persis, demokrasi kita belum bisa mengharapkan hasil konkret demokrasi, misalnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, sering terlihat demokrasi berubah menjadi democrazy.  
Dalam konteks itu, ormas-ormas–khususnya yang berbasiskan keagamaan–dapat memainkan peran penting dalam mengawal penerapan demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi kepada para anggotanya tentang perlu kepatuhan pada hukum dan keadaban publik dalam demokrasi.

Demokrasi tidak bisa berjalan baik tanpa penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan hukum–hal itu tentu saja juga sangat diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan, ormas-ormas Islam dengan pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian memperkuat perannya dalam bidang-bidang inI
Demokrasi sendiri sering dianggap sebagai panghargaan atas hak-hak manusia, kemudian dianggap sebagai keikutsertaan rakyat dalam mengambil keputusan, dan juga dianggap sebagai persamaan hak di depan hukum.
Demokrasi sendiri memang lahir di barat, secara historis demokrasi lahir pada 508 SM, yang dilaksanakan oleh kaisar Cleisthemes di Athena, Cleisthemes menganggap sistem pemerintahannya, sebagai sistem pemerintahan rakyat. Kemudian jika dilihat dari fungsinya sebagai penghargaan atas hak-hak manusia, bisa dikatakan demokrasi dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris, yang intinya membatasi kekuasaan raja yang absolut.
Demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang baik, apalagi setelah jatuhnya sistem pemerintahan komunis di Uni Soviet dan mulai tumbangnya pemerintahan otoriter di tangan rakyat.
Tetapi walaupun banyak negara yang berpindah ke sistem pemerintahan demokrasi, tidak demikian dengan negara Muslim, Belum ada negara Islam demokrasi yang dapat dijadikan model negara demokrasi, tidak juga Indonesia atau bisa disebut belum, karena Indonesia sebenarnya juga bukan negara Islam, tetapi negara yang penduduknya mayoritas Muslim.
Beralih ke Indonesia, sekarang Indonesia telah memakai sistem demokrasi seutuhnya, atau disebut dengan Demokrasi Pancasila. Setelah menjalani sistem pemerintahan demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama dan sistem pemerintahan yang otoriter pada rezim Orde Baru Presiden Soeharto, Indonesia merasa terlahir kembali dan memiliki jiwa yang baru yang berasal dari reformasi.
Di sini timbul permasalahan, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, menganut sistem pemerintahan demokrasi, yang jelas-jelas berasal dari dunia barat. Timbul pertentangan, apakah Islam yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia sejalan dengan demokrasi?

Allah secara tegas telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menganut dan menjalankan agama yang diyakini kebenarannya, sehingga tak seorangpun dapat dibenarkan memaksa orang lain untuk masuk Islam. Perintah ini terdapat dalam QS.2:256, QS.88:22, dan QS.50:45.
Inilah yang menjadi dasar seseorang yang menyatakan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi.

Tetapi ada pula prinsip-prinsip Islam yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu:
1. Perbedaan sumber
Demokrasi bersumber dari pikiran atau akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Perbedaan derajat antara Muslim dan Non-Muslim
Dalam Islam derajat orang Muslim lebih tinggi daripada Non-Muslim, sedangkan pada demokrasi derajat orang Muslim dan Non-Muslim sama.
Dalam masalah inilah sepertinya Islam tidak menghormati prinsip kesetaraan.
Saat Indonesia ditetapkan sebagai negara demokrasi dulunya, tidak ada pertanyaan yang diajukan maupun pertimbangan tentang apakah Islam kompatibel dengan demokrasi.
Suara demokrasi lebih disuarakan karena didorong kebutuhan untuk memiliki lebih banyak ruang dan lebih banyak pendapat bagi masyarakat dan orang-orang yang berada di non-negara, jadi bukan oleh nilai-nilai agamanya.
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar